Media Islam Online

Sabtu, 17 Juli 2010

Hilangnya Ikhwanku



hilangnya Ikhwanku

Mas Zaka berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus
saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Zakaria Muslim, masih kuliah di Tehnik Informatika UNPAM semester tujuh.
Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng
!Mas Zaka juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil
mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia
selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh
pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan
oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.
Pendek kata, ia selalu
melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit
waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton
film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas
Zaka yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan
teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling
mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami
mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan
Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Zaka. Jangankan keluarga atau tetangga,
nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Gita, gara-gara kamu bawa Mas Zaka ke rumah, sekarang orang rumahku
suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Zaka lho! Gila,
berabe kan?!"
"Gimana ya Git, agar Mas Zaka suka padaku?"celoteh salah satu temen
sekelasku.
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma
mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Zaka mengapa ia belum juga punya pacar. Apa
jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…,
banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Zaka
pura-pura serius.
Mas Zaka dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia
punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat
tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Zaka!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan
belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi.
Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Zaka yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Zaka! Mas! Mas Zakaaaa…….!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu
kamar Mas Zaka keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas
Zaka ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas
Zaka. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa
membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu’alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Zaka.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok
teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.
"Matiin kasetnya!"kataku sewot.
"Lho memangnya kenapa?"Tanya Mas Zaka dengan nyantainya
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Zaka! Memangnya kita orang
Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"jawabnya dengan
tenang
"Bodo!"selorohku gak mau kalah
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal
– hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Zaka
sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama

bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang
baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya kedengaran!!!!!"bentakku gak mau kalah
"Yo, wislah Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil
membanting pintu kamar Mas Zaka.Diapun ikut keluar mengejarku
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Zaka jadi
begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham,Gun’s Rose’s, Elton John,
Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum
tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain halnya dengan nasyid
senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak
kok!" begitu kata Mas Zaka.
Oalah…..masss…..mass…jawabku sambil nyengir tanpa peduli.
Sebenarnya perubahan Mas Zaka nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak
malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli
mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Zaka tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di
Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang
kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke
kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau
malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau
kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau
baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih
rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas Zaka oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy.
Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Zaka
juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya.

Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil
adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Zaka jadi aneh. Sering juga Mama
menegurnya."Zaka penampilanmu kok sekarang lain?"
"Lain gimana Ma?"
"Ya nggak semodis dulu. Nggak trendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk
sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"tapi sekarang mama
perhatiin koq rada aneh gitu lho…..
Mas Zaka cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana.
Kelihatannya juga lebih santun."
Ya, dalam pandanganku Mas Zaka kelihatan menjadi lebih kuno, dengan
kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana
cingkrangnya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan
supir kami. "Untung aja mas Zaka masih lebih ganteng."
Mas Zaka cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Zaka
lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Zaka nggak kocak seperti
dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama
perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah
rumah kebingungan.”Dan..yang paling gawat”, Mas Zaka emoh atau gak mau
salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Zaka?"
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye?
Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari.
"Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi
dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman?
Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa
orang Sunda. Apa hubungannya?”
Mas Zaka membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah,
Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan
mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."Mas Zaka tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz
Ali…," kataku tak mau kalah.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Zaka
sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi
dari kamar Mas Zaka dengan mangkel dan ndongkol setengah mati.
Menurutku Mas Zaka terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut
ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi
ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Zaka
orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh empat tahun
tetapi sudah tingkat empat di FT-UNPAM. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan
tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam -
dalam.
"Mau kemana Gita?"
"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas
Zaka kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."
"Ikut Mas aja yuk!"
"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di
sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Zaka mengajak aku ke rumah
temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig
akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang
kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja
lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol
yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Zaka menyuruhku memakai
baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil
ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Zaka menjawab salam itu”Waalaikumussalam”. Tak lama kulihat Mas

Zaka dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman –
teman Mas Zaka. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis
kelakuannya Mas Zaka.
"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu,nggak ada teman Mas Zaka yang tak akrab denganku. Tapi sekarang,
Mas Zaka bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman
temannya lumayan handsome.
Mas Zaka menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal
keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris
mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan
berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?"
Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik
kami.
"Husssyyy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya
saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil
menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis
kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Zaka.
"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya
Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti
Hendra, Isa atau Mas Zaka bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya
berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum
ngerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu
tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa dan tutur
sapanya menyejukkan hati.
"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita
tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika
tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Zaka…" kataku jujur.
"Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang
kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa
cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai
jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Zaka!" tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Zaka! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!"
Kata Mas Zaka pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain,
Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi,
gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi perjuangan
yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…….
"Cuma lagi baca!"jawabnya singkat,padat dan akurat.
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Zaka berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan
buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Zaka juga. Akhirnya kami bersama-sama
membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Gita akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas Zaka tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara
padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan
tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi
sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Zakaku
yang dulu.
Mas Zaka dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat
sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih
karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah.
Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang,
saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya,
mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Zaka yang Gagah dan tegar ini ternyata sangat
perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Zaka tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Zaka!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah
menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Zaka. Kayaknya aku dapat
hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Zaka mulai dekat lagi seperti dulu. Meski
aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap
Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum,
atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan
Mas Zaka. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan
rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil

menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Zakamengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku
sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah.
Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus
bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil
mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang,
baru Mas Zaka memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam
Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran.
Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak
mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda aja karena malu ketahuan.
Tampaknya Mas Zaka mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa
diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Zaka suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Zaka tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai
Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati
terus sama Mas Zaka, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin
oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan
seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
”Memakai jilbab Itu bukan halangan." Ujar Mas Zaka seolah mengerti jalan
pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali
terpengaruh dengan Mas Zaka.
"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau
senyumsenyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai
rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Zaka bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Zaka. Gimana nggak
bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUNPAM untuk umum
ini, Mas Zaka menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara
ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Zaka-ku!"
Mas Zaka tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang
dibawakannya menarik dan cara penyampaiannya luar biasa. Semua hening
ketika mendengar ia bicara. Termasuk aku juga bagai dihipnotis oleh tutur
katanya. Mas Zaka fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits.
Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung,
"Lho Mas Zaka kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih
bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar
yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Zaka berbicara tentang Muslimah masa kini dan
tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas
mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya
karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas
Muslimah, sudah diragukan bahkan oleh para muslimah kita sendiri yaitu di
negeri kita sendiri “Indonesia”, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas
Zaka. Mas Zaka terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika.
Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris
juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Zaka. Mama bisa dikompakin. Nanti sore
aku akan mengejutkan Mas Zaka. Aku akan datang ke kamarnya memakai
jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan
tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas
Zaka yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan
mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas Zaka! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Zaka
dengan riang.

"Mas Zaka belum pulang. "kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah
temannya, atau di Mesjid. "
"Insya Allah nggak. Kan Mas Zaka ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur
Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali
sama Mas Zaka.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Zaka belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor-Jakarta kan lumayan jauh.." hibur Mama
lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam,
Mas Zaka belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Zaka selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga
kulepaskan meskipun sudah mulai merasa kegerahan. Aku berharap Mas Zaka
segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!" telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Zaka?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Zaka…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.
"Mas Zakaaa….. " Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama
menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Zaka terbaring lemah. Kaki, tangan
dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk
menghantam mobil yang dikendarai Mas Zaka. Dua teman Mas Zaka tewas
seketika sedang Mas Zaka kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Zaka pasti mau melihat saya pakai
jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus
menangani Mas Zaka. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Zaka akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku.
"Papa, Mas Zaka bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku
terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding
putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya Zaka dan
enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Zaka, sembuh ya, Mas…Mas..Zaka, Gita udah menjadi adik Mas yang
manis. Mas..Zaka…" bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini
telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui
anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya
Allah, selamatkan Mas Zaka…Gita, Mama, Papa butuh Mas Zaka…umat juga
membutuhkan sosok seperti dia Ya Allah."
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Zaka menghampiri kami. "Ia
sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya.
Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah."
Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan
harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Zaka bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan
sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung
jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Zaka bergerak lagi.
"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Zaka
yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Zaka! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Zaka tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan
sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha
lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa
dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat
Mas Zaka tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Zaka lagi.
Dokter mengatakan tampaknya Mas Zaka menginginkan kami semua
berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Zaka semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar
masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa
yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan
isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyakbanyak…
Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada
Allah. Aku sangat menginginkan Mas Zaka terus hidup, tetapi sebagai insan
beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Zaka, aku pasrah pada
ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Zaka.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Zaka pelan,
namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Zaka telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum
menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu
kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia
pergi. “Selamat jalan Mas Zaka”.
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Zaka. Keharuan memenuhi
ronggarongga
dadaku. Gamis dan jilbab hitam, manis sekali. Akh…., ternyata
Mas Zaka telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku
tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Zaka yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis,
aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu
Mas Zaka melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi.
Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi
perjuangan yang seolah bergema diruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, insya Allah akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?,terus harus berbaju koko dan
bercelana cingkrang ya…"
"Kok nanya gitu sih?"
"Lha, Mas Zaka kan ada janggutnya?celananya juga aneh"
"Ganteng kan?"jawab mas Zaka dengan senyum lesung pipipitnya.
"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong, jihad itu…"
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu.
Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan
Mas Zaka!
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Zaka! buat ukhtiku yang manis.
















Diperuntukan buat someone yg slalu bisa menentramkan hatiku..
semoga hidayah, bisa kau terima dihatimu

4 komentar:

  1. subhanallah....ceritanya bagus, btw kok nama tokoh dalam cerita dimirip2in getuh, "mas zaka" hehehehehe....

    BalasHapus
  2. Subhanallah... kisah yang sangat mengharukan....

    BalasHapus
  3. subhanallah...ceritanya bener" menyentuh..

    BalasHapus
  4. selamat jalan zaka....semoga amal ibadahmu di terima di sisi allah SWT.

    BalasHapus